Ganbatte kudasai,,!!

Ganbatte kudasai,,!!
Belajar,,Belajar,,

Ahlan Wasahlan..


“Ambillah hikmah dari siapa saja, sebab hikmah itu kadang-kadang diucapkan oleh seseorang yang bukan ahli hikmah. Bukankah ada lemparan yang mengenai sasaran tanpa disengaja?” (HR. Al-Askari dari Anas ra dalam kitab Kashful Khafa’ Jilid II, h.62)

Selasa, 20 Maret 2012

Pendidikan Tiga Dimensi : Tubuh-Hati (Perilaku)-Otak



Dalam Pendidikan JepangSerba-Serbi Jepang di Maret 24, 2011 pada 4:48 am
Saya sering ditanya dari mana proses pendidikan itu harus dimulai. Pertanyaan paling gampang dengan jawaban tersulit. Kata “dari mana” semestinya mengarah kepada sebuah tempat, lokasi, tahap,fase atau waktu. Dan oleh karenanya jawaban yang akan muncul terhadap pertanyaan di atas sangat bervariasi, dan pastilah semua benar jika asumsinya pun benar.
Selama kurang lebih enam setengah tahun tinggal dan mendalami pendidikan di Jepang (itupun rasanya masih kurang), saya berani menyimpulkan bahwa pendidikan di Jepang adalah pendidikan yang mengikuti model : tubuh –>hati—>otak.
A. Pendidikan Tubuh
Pendidikan tubuh adalah aspek yang ditekankan pada masa usia dini. Karenanya kegiatan gerak badan, pembentukan tubuh, latihan motorik dasar adalah hal yang diutamakan pada hoikuen (tempat penitipan anak), youchien (taman kanak-kanak) dan shougakkou (sekolah dasar). Lalu bagaimana penerapannya ?
Kegiatan utama anak-anak hoikuen dan youchien adalah bermain. Tidak ada unsur belajar dengan menggunakan alat tulis atau buku. Kalau toh hendak disebut belajar, mereka belajar menghafal kata melalui lagu dan sapaan atau pembicaraan ala anak, tetapi tidak dengan menulisnya. Anak-anak mengenal kosakata baru melalui proses alami.
Tidak ada ahli yang membantah bahwa bekerjanya hati dan otak tergantung dari kondisi tubuh. Hal ini dipahami betul oleh pendidik di Jepang. Oleh karenanya pembentukan raga, pengaktifan urat dan otot-otot anak dilakukan melalui kegiatan “bergerak”. Anak-anak normal maupun yang mengalami kelainan dari segi fisik tidak ada bedanya, mereka semua harus bergerak dan melatih semua organ tubuhnya pada masa kanak. Tangan yang terdiri dari 5 jari, masing-masingnya mempunyai fungsi. Dari kelima jari tangan tersebut kalau diperhatikan ibu jari adalah organ yang paling menentukan perkembangan fisik anak. Perhatikan ketika anak mulai merangkak, tumpuan utama untuk menahan tubuhnya ada pada ibu jari tangan dan kaki. Ketika dia mulai memegang sesuatu, dia mula-mula memegangnya dengan jari-jarinya yang lain, dan lama kelamaan menyadari bahwa sesuatu akan terpegang dengan kuat jika ibu jari ikut memegang. Ibu jari memperkuat jari-jari yang lain untuk kuat memegang sesuatu. Hal yang sama berlaku pada kaki. Kaki berfungsi untuk berjalan akan dipahami anak jika dia sudah mulai menggunakan kakinya untuk berjalan. Ketika anak memanjat pohon, ibu jari kakinya juga berperan untuk mencengkeram kuat pada batang pohon. Jika tidak ada ibu jari kaki, misalnya karena anak dipakaikan kaus kaki, maka tentulah kakinya sulit memijak di batang pohon. Perhatikan pula bahwa anak lebih cepat berjalan dan berlari jika ibu jari kakinya terbebaskan ketika bergerak.
Karenanya tidak mengherankan bahwa anak-anak di hoikuen dan youchien di Jepang tidak dibiasakan memakai kaus kaki atau sepatu. Mereka tidak perlu takut serangga yang akan menggigit kakinya, air yang akan mengotori tapak kakinya, atau kerikil-kerikil yang mungkin akan menusuk kaki. Makin tebal tapak kaki anak, makin bagus itu ! begitu kata seorang pengasuh di hoikuen.
Di SD pelajaran olahraga diberikan 3 kali dalam seminggu selama 45 menit setiap kali pertemuan. Jumlah jam pelajaran olahraga di SD per tahunnya adalah sbb, kelas 1 SD adalah 102 unit jam, kelas 2, 3, dan 4 sebanyak 105 unit jam, dan kelas 5 dan 6 masing-masing 90 jam plus pelajaran jasmani 12 jam (total 597 jam). Sebagai pembanding jam olahraga di SMP kelas 1-3 masing-masing 105 jam (total 315 jam) yang naik dari 90 jam (total 270 jam) di periode sebelumnya.Diskusi tentang perubahan ini silakan dibaca di sini.
Prinsip dari tubuh yang sehat lahirlah jiwa dan otak yang sehat pula tercermin dalam aktifitas belajar di sekolah. Tentu saja kesehatan tubuh dan jiwa siswa tidak ditentukan oleh pelajaran olahraga saja, tetapi juga oleh asupan makanan di dalam tubuh. Sekalipun pihak sekolah menyiapkan makan siang yang sudah terdeteksi dan terjaga nilai gizi dan besaran asupan, di rumahpun orang tua dianjurkan untuk menyediakan makanan yang paling tidak serupa kandungan gizinya.
Penyakit flu gampang sekali menular di kalangan anak-anak. Oleh karena itu, orang tua yang mempunyai anak di hoikuen, youchien, dan SD kelas rendah setiap hari perlu melaporkan kepada guru tentang kondisi tubuh, misalnya suhu badan siswa, terutama bila anak menunjukkan gejala-gejala sakit. Jika suhu badan mencapai 39 derajat, anak tidak diperkenankan masuk sekolah.
Untuk mengajarkan anak-anak tentang perlunya menjaga kesehatan, di hoikuen dan youchien serta SD ada kebiasaan mencuci tangan dan melakukan ugai (berkumur-kumur) setiap kali masuk sekolah atau selesai bermain/jam istirahat. Kebiasaan menggosok gigi bersama juga menjadi acara wajib setelah makan siang.
B. Pendidikan Hati (Perilaku)
Jika dibandingkan dengan karakter etnis di dunia ini, saya kira orang Jepang termasuk dalam kategori orang yang sangat peka. Kepekaan itu bukan terkait dengan diri pribadi tetapi berhubungan dengan orang lain. Misalnya, ketika mereka bersikap atau bertindak, yang pertama kali dipikirkan bukan keberhasilan pribadi tetapi apakah orang lain tidak terganggu dengan tindakan itu.
Adab menghormati orang lain diajarkan dengan pembiasaan sikap misalnya menyapa dengan suara lantang, tidak malu-malu, mengucapkan terima kasih, meminta maaf, yang sebenarnya di sekolah di Indonesia semestinya sudah diajarkan kepada siswa-siswa kita. Guru meminta maaf kepada siswa adalah hal yang biasa. Demikian pula siswa kepada guru.
Suatu hari ada seorang murid SD Jepang menghina anak teman saya yang kulitnya hitam (karena orang Indonesia :-)  ) dengan mengatakan si anak tidak pernah mandi. Kejadian ini didengar oleh teman saya, dan tentu saja dia emosi karena anaknya dihinda (padahal anaknya biasa saja). Teman saya pada kesempatan lain menemui kakak si anak Jepang dan menyuruhnya minta maaf. Tak lama kemudian si anak yang bersalah datang menemui teman saya dan berteriak, “Fira no okaasan, gomen nasai !” (Mama Fira, mohon maaf sekali !) sambil membungkuk 90 derajat. Sikap membungkuk saat memberi salam dan  meminta maaf diajarkan di lembaga sekolah hingga di tempat-tempat kerja. Misalnya saja, ketika menyapa, maka cukup menganggukkan kepala, ketika memperkenalkan diri, membungkuk dengan sudut sekitar 30-45 derajat, dan saat meminta maaf membungkuk dengan sudut 90 derajat.
Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa anak muda Jepang gampang sekali bunuh diri jika mereka dihina. Pilihan bunuh diri saya kira diambil karena mereka sangat malu terhina. Jadi, jika mereka dihina dan tidak dapat melawan hinaan itu, mereka memilih mengakhirinya dengan bunuh diri. Masalah membesarkan hati anak, menumbuhkan kepercayaan diri mereka dan meningkatkan kepercayaan anak kepada orang dewasa, menjadi salah satu muatan pendidikan moral yang sedang dibahas dan dianjurkan pengejawantahannya di sekolah-sekolah.
Untuk melatih kepekaan anak terhadap lingkungannya, Jepang dapat diacungi jempol. Masalah sampah yang menjadi momok di banyak negara berkembang dan negara maju, dapat dilewati negeri ini dengan sistem pendidikan yang keras/disiplin dan penyediaan fasilitas yang mengikutinya. Pengetahuan tentang air bersih dan perlunya menjaga sumber-sumber air diajarkan dengan pola pembelajaran luar kelas, yaitu dengan mengunjungi PAM setempat, atau pada kegiatan lain mendatangi mata-mata air, sungai-sungai dan mengenali dari mana air yang mereka minum sehari-hari berasal, dan apa akibatnya jika sumber dan aliran air itu terkotori.
Pendidikan perilaku lainnya adalah kesopanan dalam berkendara. Mengapa jarang sekali kita mendengar bunyi klakson di Jepang, mengapa hampir tidak pernah kita mendengar keluhan saat mereka antri panjang, mengapa saat terjadi gempa, anak-anak dengan tertibnya bersembunyi di bawah meja dan antri berjalan menuju tempat yang aman ? Semuanya adalah pendidikan yang rutin diberikan. Latihan gempa diajarkan setiap bulan, latihan adab kesopanan berkendara diajarkan dalam pelajaran seikatsu ka (life skill).
Materi-materi karakter dasar ini diajarkan pada level hoikuen, youchien, dan SD. Dan tidak diajarkan lagi saat mereka SMP, karena dianggap mereka sudah memahaminya dengan baik, sebab sudah dibiasakan sehari-harinya. Dalam hal ini pendidikan hati/perilaku diajarkan melalui pembiasaan dan bukan ceramah di dalam kelas.
Sekali-sekali dalam pelajaran bahasa Jepang di SD, dan juga sejam pelajaran moral dengan wali kelas, guru membacakan kisah teladan, dan atau menunjukkan film, yang kemudian akan dikomentari oleh anak-anak.
Beberapa sekolah yang saya kunjungi juga menerapkan absensi kegiatan rumah kepada para siswanya, misalnya saja apa yang mereka kerjakan untuk membantu ibunya di rumah, berapa jam mereka belajar, menonton TV, dan membantu ibunya. Terlepas dari akan ada anak dan orang tua yang tidak peduli dengan hal ini, yang terpenting adalah sistem pembiasaan sudah disusun dengan pendekatan yang holistik.
C. Pendidikan Otak
Pendidikan otak atau pengajaran ilmu pengetahuan adalah hal yang mulai ditekankan di level SD kelas atas, dan semakin ditekankan di SMP dan SMA. Oleh karenanya jika dibandingkan dengan siswa SD di Indonesia, siswa SD di Jepang mempelajari cakupan materi yang lebih sedikit, tetapi mereka akan sangat lebih unggul dibandingkan dengan siswa kita jika diberikan soal-soal pemahaman dan analisa. Itu karena bukan metode menghafal yang ditekankan kepada mereka, tetapi metode memahami dan bisa.
Untuk bisa memberikan pendidikan ilmu pengetahuan yang lebih baik, seorang guru di Jepang dituntut tidak saja memahami pedagogi mengajar, tetapi lebih dari itu menguasai bidang keilmuwannya. Oleh karena itu per sepuluh tahunan, setiap guru harus mengikuti pembaharuan sertifikat. Dan saat mengikuti pembaharuan tersebut, guru harus mengambil kuliah di fakultas yang sesuai dengan bidang keilmuwannya.
Pendidikan tiga dimensi dengan urutan semacam itu (tubuh–>hati–>otak) diterapkan di semua sistem pendidikan Jepang. Jadi, bukan otak yang diutamakan tetapi tubuh yang harus dibina terlebih dahulu, dan setelah terbentuk fondasi tubuh yang mantap, anak-anak baru dikembangkan hati dan otaknya. Pengembangan otak bisa dipesatkan dengan fondasi tubuh dan hati yang sudah terbangun dan terbentuk dengan baik. Namun jika tubuh dan motorik belum terbentuk dengan baik, maka hati dan otak tidak dapat dikembangkan dengan optimal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Alhamdulillah ada yang menasihati,,,