Ganbatte kudasai,,!!

Ganbatte kudasai,,!!
Belajar,,Belajar,,

Ahlan Wasahlan..


“Ambillah hikmah dari siapa saja, sebab hikmah itu kadang-kadang diucapkan oleh seseorang yang bukan ahli hikmah. Bukankah ada lemparan yang mengenai sasaran tanpa disengaja?” (HR. Al-Askari dari Anas ra dalam kitab Kashful Khafa’ Jilid II, h.62)

Minggu, 29 April 2012

BERBURU APEL EMAS

"Bagaimana Bu rasanya masuk kelas?" Tanya Bu Win
itu adalah pertanyaan pertama yang terlontar dari Bu Win ketika saya selesai masuk pertemuan pertama di kelas VII Putera.
"Haduuh..anak-anak nakal sekali," kata beliau sambil menggelengkan kepala.
"Kemarin ada guru yang sampai menangis gara-gara mereka." lanjut beliau
"Mereka itu ada yang bekas Anjal"
"Oo...begitu ya" jawab saya sambil manggut-manggut 
Saya hanya bisa tersenyum menanggapi pertanyaan beliau dan agak kaget mendengar kalau mereka "nakal". Perasaan, mereka ya biasa-biasa saja seperti kelas pada umumnya. Kalau mereka banyak celometan saya pikir itu masalah yang umum dan saya sudah menter /kebal dengan kelas yang seperti itu.


Takdir membawa saya untuk turut berpartisipasi mengajar di sekolah baru yang didirikan di pesantren saya dahulu. Kebetulan, guru IPA yang sudah ada harus cuti karena hamil tua, jadilah saya yang menggantikan beliau sekaligus nantinya mengajar IPA kelas VIII. Yeah, mau tidak mau saya harus riwa-riwi ke sekolah saya yang satunya dan ke sekolah ini. Alhamdulillah...ada rasa syukur ketika saya bisa turut merasakan sekolah yang benar-benar masih baru karena saya bisa belajar bagaimana mengelola sekolah supaya bisa tetap survive.






Saya memulai pelajaran dengan membawa tumpukan 
gambar apel berwarna warni, ada merah, biru, hijau, dan hitam. Lalu saya selipkan sebuah gambar apel yang spesial, yaitu apel emas. Berkali-kali saya tunjukkan gambar apel emas tersebut kepada siswa.

“Semua apel yang berwarna warni itu jumlahnya banyak, tapi ada yang spesial hanya satu apel, yaitu apel emas.”

Setelah itu saya minta semua siswa maju ke depan kelas kemudian membuat lingkaran. Saya meminta tiga orang siswa untuk membawa tumpukan gambar apel tersebut. Dengan aba-aba dari saya kami berempat melempar gambar-gambar tersebut ke udara.

“Dengan hitungan ke tiga, hanya 15 detik, kalian harus ambil sebanyak-banyaknya gambar apel tersebut. Satu .. dua ..tiga ....” instruksi saya.

Dan mereka semua berebut untuk memungut apel sebanyak-banyaknya. Pasti yang mereka buru adalah apel emas. Ada yang terjatuh, ada yang hanya dapat sedikit, sebab badannya kecil, terpelanting oleh teman-temannya yang berbadan besar.
Setelah mereka berebut berjuang mendapatkan gambar apel tersebut, saya minta untuk kembali ke kelas. Saya minta mereka menghitung jumlah apel yang berhasil didapat. Ada yang mendapat hanya 3 apel, ada yang 18 apel, bahkan ada yang tidak dapat sama sekali. Siapa yang mendapat apel terbanyak? Muzammil mengangkat tangan dan teman-temannya memberi tepuk tangan. Siapa yang mendapat apel emas? Umar Faruk mengangkat tangannya dengan wajah berbinar dan kelas pun riuh dengan tepuk tangan.

“Sekarang kalian punya waktu 3 menit untuk saling berbagi apel-apel itu. Memang sih kalian tadi mendapatkannya dengan susah payah. Terserah kalian mau memberi atau tidak. Jadi yang mendapat sedikit, karena usahanya hanya sedikit, silahkan meminta apel lain dari teman-temannya yang mendapat banyak apel,” saya memberi instruksi.

Spontan kelas menjadi riuh. Ada yang dengan rela membagi. Namun ada yang mempertahankan.
“Aku tadi sampai terjatuh lho, jadi aku gak akan berikan satupun apelku.”
“Okey aku beri tapi yang warna hitam saja ya. Aku tidak suka warna hitam.”
"Hey, tukar warna emas, ya! nanti saya ganti dengan semua apelku!"
"Enak,aja. Aku nggak akan mengganti apel emasku!

macam-macam yang dilakukan mereka.













Setelah acara minta dan bagi selesai. Saya minta mereka 
menghitung perolehan nilai atas masing-masing usahanya. Nilai masing-masing apel saya catat di papan tulis dan semua siswa langsung menghitungnya.

Nilai apel berwarna merah = 10, hijau = 20,  biru =30, hitam = 50. Wow ... mereka bersorak saat menghitung. Ada yang gembira ada yang sedih, sebab melepaskan apel hitam. Ternyata warna hitam mempunyai nilai tinggi. Lalu saya lanjutkan dengan pertanyaan.
“Siapa yang memegang apel terbanyak?” Ada  1 siswa yang 
angka tangan, dia mendapat poin 320. 
“Siapa yang mendapat apel paling sedikit?” ada 2 anak angkat tangan.
“Tadi kamu mendapat berapa apel?”
“Sepuluh, sekarang hanya dua.”
“Kok bisa?”
“Ya saya gak tega teman-teman meminta kepada saya. Ketika satu apel saya berikan, yang lainnya juga meminta. Ya saya berikan saja. Apalagi ada teman yang hanya mendapat sedikit apel,” jawab mereka
Lalu saya berikan nilai.
“Yang memegang apel terbanyak, nilainya minus 500, sedangkan yang memegang apel paling sedikit, nilainya plus 500.”

Sekali lagi mereka berteriak, sama sekali tidak menyangka akan nilai-nilai yang saya sebutkan.

“Siapa yang memegang apel emas?” tanya saya.

Dengan wajah ceria Umar langsung angka tangan.
“Yang memegang apel emas, nilainya ..... minus 1000.”

Wow .. kelas jadi ramai sekali. Ada yang bertepuk tangan. Ada yang tertawa. Ada yang kaget, dan banyak pula yang terdiam karena bingung. Tentunya ada yang paling sedih yaitu Umar.  Akhirnya tercatatlah siapa saja siswa yang mendapatkan nilai tertinggi dan terendah.

Lalu saya mulai memberi ‘teaching point’ kepada semua siswa. Mereka antusias mendengarkan.

“Coba bayangkan jika sebelum saya sebarkan gambar apel berwarna warni tadi, saya munculkan nilai-nilainya terlebih dahulu. Apa yang terjadi? Tentunya kalian tidak akan berebut mendapatkannya. Dan tidak akan pernah mengambil apel emas. Benarkan? Tapi karena kalian silau dengan penampilan luar, dengan bentuk luar dari seseorang.  Lalu jika kalian tahu jika lebih banyak memberi itu nilainya tinggi, pasti kalian akan berikan semua apel tersebut. Tapi saya lihat tadi sampai ada yang merayu-rayu untuk meminta apel kepada teman-temannya. Jika kalian tahu meminta itu nilainya minus, pasti kalian tidak akan pernah meminta. Padahal kalian tahu, dalam Islam, kita dianjurkan untuk memberi sebanyak-banyaknya, bukan meminta sebanyak-banyaknya.”

"Bukankah tangan yang di atas itu lebih baik daripada tangan yang di bawah? Bukankah Allah menganjurkan kita untuk memberi dengan barang yang terbaik?" 
Saya melihat mulai ada raut kesadaran dan pemahaman dari permainan berburu apel emas tadi....

Setiap kita masuk kelas, berusaha kita jauhkan pikiran tentang mereka anak-anak nakal, mereka anak-anak yang susah di atur, mereka bekas anak jalanan, dan sebagainya. Ketika otak kita sudah ter mindset bahwa mereka adalah anak-anak yang nakal kita akan sulit untuk bisa masuk ke dunia mereka. Mereka juga manusia yang membutuhkan perhatian dan kasih sayang dari kita. Saya rasa ketika kita mengenal dan faham akan karakter dan latar belakang setiap anak kita akan mudah untuk masuk ke dunia mereka. Hal ini mungkin yang sering terlupa untuk dilakukan dan beranggapan itu adalah wilayah bimbingan konseling. Saya pikir semua pendidik wajib untuk bisa memahami setiap anak didiknya. Percayalah, itu menyenangkan....

#Terima kasih saya ucapkan untuk Pak Munif Chatib atas inspirasinya.. ^_^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Alhamdulillah ada yang menasihati,,,