Akhirnya aku putuskan untuk bertanya padamu,
Bang. Setelah batinku lelah terus menanggung pilu yang semakin menggunung dan
menyesakkan dada.
Kau sangat terkejut dan tak menyangka aku tahu
sebanyak itu bukan?
Pertama kali aku mengetahui tentang kalian
memang belum lama, baru empat bulan lalu, ketika terbaca sms-sms mesra kalian
dalam ponselmu yang tertinggal di rumah hari itu. Secara naluri, aku langsung
menelpon perempuan itu, berpura-pura menanyakan sesuatu. Suara yang sangat
ketus menyatakan salah sambung!
Malam ketika kau pulang, aku bertanya
baik-baik padamu, Bang. Mulanya kau menyangkal. Namun setelah kutunjukkan
bukti-bukti, kau menangis. Kau bilang kalian baru dekat 3 bulan saja dan hanya
lewat email dan telpon. Dia curhat padamu, kau meladeni dan akhirnya kalian
semakin akrab. Aku tahu kau tak pernah berdusta. Jadi ketika kau nyatakan kau
bertobat dan meminta aku memaafkanmu sambil menangis, meski perih aku
menerimamu kembali. Apalagi kau bilang, janda beranak dua itu, pernah mengajak
bertemu tapi kau menolak. Dan menurutmu kalian belum pernah bertemu. Kau hapus
segala tentangnya, juga nomornya di ponselmu.
Hari pun berlalu dan rumah tangga kita semakin
baik. Ah, sebenarnya sejak dulu kita juga baik-baik saja kan? Aku berusaha
untuk lebih berubah lagi, mengikuti keinginan dan imajimu tentang seorang ibu
rumah tangga. Sampai bulan ini entah mengapa aku mencium gelagat yang lain
darimu.
Teman dekatku pernah berkata, ada beberapa
tanda seorang suami berpaling:
Lebih suka jalan sendiri daripada bersamamu
Lebih mudah marah
Lebih memilih main game sampai larut malam
daripada bicara denganmu
Tidak suka bicara soal kehidupan rumah tangga
sendiri
Membawa HP ke sudut manapun meski hanya dalam
rumah
Lebih memperhatikan penampilan , tapi tak
membutuhkan saranmu
dll
Waktu itu aku cuma tertawa mendengarnya. Namun
kemudian kuperhatikan, semua ada padamu. Kau tahu, Bang, aku sudah tak pernah
lagi mau memeriksa ponselmu, sejak peristiwa pertama itu berlalu. Bukankah
sejak dulu aku memang seperti itu? Aku ingin menghargai privasimu. Aku percaya
padamu.
Lalu entah mengapa, sebulan lalu, perasaanku
tak enak. Senja merah dan saat kau lengah, kubaca isi ponselmu. Memang tak ada
sms mesra dari perempuan itu seperti dulu. Tapi seseorang bernama “Doni”
mengirim sms padamu dengan gaya bahasa yang sama dengannya. Aku
terhenyak dan seperti disadarkan. Mengapa, Bang? Mengapa kau jalin lagi
hubungan dengannya, padahal kau sudah berjanji untuk setia padaku dan Allah
setelah peristiwa pertama? Dan ia yang kau namai “Doni” adalah perempuan itu!
Mengapa? Mengapa harus berdusta padaku dengan menyamarkan namanya menjadi nama
lelaki?
Aku mulai mengerahkan semua panca indera, juga
mata ketigaku untuk melihat hubunganmu dengannya.
Tanpa setahumu, aku menyelidiki perempuan itu.
Aku tahu nama, alamat, juga nomor-nomor ponselnya. Aku tahu siapa dia, mengapa
ia bercerai dari suaminya, dan lain-lain.
Ketika ada beberapa kali kesempatanmu menginap
di kota B, kau pergi dengan sangat riang. Entah mengapa suatu hari,
aku terusik dan…mengikutimu!
Aku tahu di sana kau memang
benar-benar bekerja, Bang. Tapi aku merasa kau pasti pernah bertemu dengannya,
setidaknya saat itu, kala aku menemukan kalian dengan mata kepalaku sendiri.
Kalian makan minum bersama di tempat yang kau bahkan belum pernah mengajakku ke sana.
Aku melihat caramu dan cara dia menatap satu sama lain. Dan kau tak menyadari
bukan? Dengan tubuh menggigil karena kehujanan, aku berdiri di dekat jendela,
lalu bergeser ke pintu dan memandang kalian dengan penuh luka…Kau, dia
tertawa-tawa dengan mesranya, tanpa beban…Dadaku berdegup keras. Ingin rasanya
aku melabrak kalian! Atau kalau tidak, sekadar mendatangi dan memandang
kalian dengan mata lara.
Namun sebuah sms dari anakmu menyadarkanku
untuk pulang malam itu juga dari Kota B kembali ke Jakarta. Sepanjang
jalan, dalam kendaraan umum, aku menangis. Ah, apa yang bisa kulakukan lagi
saat itu selain menangis?
Ketika kau pulang, aku belum ingin berkata apa
pun. Belum. Aku tetap mencoba melayanimu dengan riang. Aku berharap dengan
ketulusanku, kau tergugah dan lebih mencintaiku, lebih mencintai keluarga kita
yang telah terbangun belasan tahun ini.
Kemarin, entah mengapa aku gulana. Firasatku
mengatakan ada yang tak beres. Saat kau ke kamar mandi, kulihat ponselmu.
Benar, dia menghubungimu lagi! Dia bercerita bahwa dia sedang sakit dan mau ke
rumah sakit bersama ibunya. Dalam sms lain ia bilang ia ingin ganti nomor
ponsel karena merasa tak nyaman memikirkan mungkin aku tahu nomornya. Yang
membuatku lebih tersentak adalah ketika di bagian sentyang belum sempat kau
hapus, kau katakan padanya untuk menghanguskan nomor lama dan menggantinya
dengan nomor CDMA seraya mengatakan kau yang akan membelikan ponselnya!
Pagi itu saat kau pamit ke kantor dan
mengecupku, tubuhku bergetar menahan tangis yang nyaris meledak. Tapi kau tak
membacanya…,kau memang tak pernah bisa membacaku dengan benar, Bang…
Lalu kemana aku harus berbagi cerita dan
meminta saran? Kebanyakan temanku lelaki. Tapi apakah aku akan mengulang
jalanmu dengan curhat pada mereka, lalu jadi makin dekat dan akhirnya
berpeluang besar menghancurkan rumah tangga mereka? Tidak. Aku tak pernah mau
ambil resiko. Aku hanya ingat seorang teman yang menyarankanku untuk menuliskan
semua beban hidup agar terasa ringan. Aku bercerita padanya.
Dia mengatakan agar aku berani bicara padamu
lagi. “Komunikasi adalah kunci utama keutuhan sebuah rumah tangga,” katanya.
Sebelum bicara padamu, mungkin juga pada
perempuan itu, aku mendapat kekuatan dari sebuah tempat yang tak pernah kuduga:
multiply! Di webnya, sahabatku mengangkat persoalanku dengan jati diri yang
disamarkan. Kau tahu, Bang? Begitu banyak simpati, empati yang menghiburku.
Mereka juga memberikan saran-saran yang sangat baik dan bisa langsung
kuterapkan! Ah, aku berhutang budi pada mereka semua….
Awalnya aku mengirim sms…sebuah doa untukmu.
Kau menjawabnya dengan riang, dan mengucapkan terimakasih. Lalu kukirim sms
pada sahabat perempuanku, bahwa aku mengetahui hubungan kalian lebih jauh. Tapi
Allah berkehendak lain. Jari-jariku lincah mengetik sms yang kemudian malah
terkirim padamu itu!
Baru setengah jam setelah itu kau membalas.
Kau bilang kau tetap cinta padaku. Kauakan bertobat dan kau meminta maaf untuk
kedua kalinya (tak akan ada kata maaf yang ketiga. Aku berjanji padamu dan
Allah, tulis sms mu). Aku masih terguncang, namun kutahan tangis saat
menatap wajah anak kita. Saat itu aku sedang di rumah sakit, memeriksakan
kesehatanku dan anak kita. Untuk pertama kalinya, kukirim sms pada dua
nomor hp milik perempuan itu. Bukan amarah yang kukirim, hanya sebuah
pertanyaan: Mengapa Anda memanfaatkan situasi dan terus menghubungi,
mengganggu suami saya (jangan bilang anda tak memanggilnya cinta). Apa salah
saya pada Anda? Tak ada jawaban. Tak pernah ada.
Malamnya kau pulang dan kita bicara baik-baik,
meski aku sempat menangis sesenggukan. Aku minta kau bicara sejujurnya. Kau
lebih banyak diam dan mendengarkanku dengan wajah menyesal.
“Jadi apa target hubungan kalian?” tanyaku
dengan suara bergetar.
“Tak ada,” paparmu. “TTM…”
Aku mual mendengarnya. TTM (Teman Tapi Mesra).
Itu akan jadi lagu yang paling kubenci di dunia ini!
“Dulu abang bilang tak pernah bertemu
dengannya. Mengapa abang berdusta?”
Kau menciumku dan berulangkali minta maaf. “Hanya
mengobrol, curhat-curhatan saja. Tolong maafkan aku….”
Hatiku semakin ngilu.
“Bisakah aku memaafkanmu, Bang? Mungkin
bisa…tapi tidak sekarang….”
Aku lalu memintamu untuk istikharah memilih
aku atau dia…
Kau mendesah. “Aku tak ingin kita berpisah.
Aku memilihmu. Aku masih mencintaimu,” bisikmu. “Aku tak akan berhubungan lagi
dengannya, dalam bentuk apa pun.”
Aku masih menangis.
Esoknya keadaan agak membaik. Kau lebih
memperhatikanku dan masih terlihat menyesal. Kau bahkan mengatakan tak ingin
membawa HP dan memberiku password dua email-mu. Ketika kutanya nama lengkap dan
alamat email perempuan itu, kau memberikannya….
Ketika berangkat kerja aku sudah berpikir ,
kau menyesal dan tak ingin mengulangi. Kau telah berkata sejujur-jujurnya. Maka
apa yang menghalangiku untuk tak memaafkanmu? Pagi itu dari atas bis kota aku
mengirim sms maafku padamu dan kau menyambut dengan sukacita. Kita mulai
lagi dari awal ya…kita berjuang bersama, sayang! Kiss u! sms-mu.
Berakhir, pikirku. Berakhir…saatnya
memaafkan….
Sore itu, iseng saja, kubuka emailmu---hal
yang tak pernah kulakukan selama belasan tahun kita menikah. Kucek semua email
darinya. Tak ada. Ah, tentu saja sudah kau hapus bukan? Namun aku tak
menyerah…kuteliti lagi…! Dan aku terpana, melihat tiga imel dengan id yang
berbeda, tapi tetap darinya. Mungkin kau lupa menghapusnya….
Ah, ternyata banyak yang tak kutahu tentang
kalian. Sampai kemarin kau masih mengatakan hubungan kalian baru bulan puasa
2005 kemarin. Namun aku menemukan email dari perempuan itu pada tahun 2004,
bahkan 2003! Rasanya aku ingin pingsan! Mengapa? Mengapa Abang tak jujur
padaku? Kalian sudah menjalin hubungan selama 3-4 tahun! Ya Allah, sudah sejauh
mana? Dalam email itu baru kusadari kalian tak pernah berkenalan melalui
internet, email. Pada email bertahun lalu itu perempuan itu curhat padamu mengenai
perceraian dengan suaminya. Suaminya terlibat hutang ratusan juta, dan
perempuan itu dalam kesulitan ekonomi. Aku juga tahu kau sangat peduli padanya
dan meminjamkannya sejumlah uang….sejak lama….
Kuraih ponselku. Minggu ini juga, aku
ingin bertemu denganmu dan perempuan itu, untuk membicarakan persoalan kita dan
hubungan kalian yang telah empat tahunan itu. Mungkin aku memang harus pergi.
Mengapa kau harus berdusta, Bang?
Tiba-tiba kepalaku pusing, Bang…aku terjatuh
dan tak ingat apa-apa lagi. Lamat-lamat hanya kudengar suara anak-anak
berteriak. “Panggil taxi, ibu pingsan! Ayo. Cepaaaat! Kita ke rumah sakit!”
Ketika sadar, kulihat aku ada dalam dekapanmu.
Kau membelai dan menciumku bertubi-tubi disertai kata-kata yang itu juga:
“maaf”. Kulihat matamu basah….
Tapi aku terlalu lemas untuk menyapa. Hancur.
Aku hanya mampu bertanya lemah, “Mengapa, Bang? Mengapa?”
Malam itu baru kau ceritakan semuanya secara
utuh. “Aku takut kamu marah dan tak mau menerimaku lagi kalau aku ceritakan
semua…,”katamu terisak. “Aku takut….maafkan aku….”
Aku hanya menatapmu dengan mata bengkak,
nyaris tanpa kedipan…., “Mengapa?”
Pertemuan pertama kalian terjadi saat kau SD di
sebuah kota. Kalian satu angkatan. Tapi kalian tak terlalu dekat. Sampai
empat tahun lalu, saat terjadi reuni, kalian bertemu kembali. Lalu semakin
akrab. Saat itu ia curhat padamu tentang suaminya yang terlibat hutang ratusan
juta. Ia memintamu mencarikan pekerjaan untuk suaminya. Maka kau yang baik hati
dan sebenarnya sangat sibuk pun benar-benar membantu, bahkan bolak balik ke kota B
hanya untuk itu. Tapi suami perempuan tersebut benar-benar bermasalah,
mereka bercerai dan kalian semakin dekat. Kau bahkan beberapa kali menginap di
rumah perempuan itu!
“Tak terjadi apapun,” katamu bersumpah atas
nama Allah. “Sentuhan fisik hanya terjadi saat kami bersalaman….”
“Apakah aku harus percaya itu?” aku
sesenggukan….
“Aku sudah menceritakan semua, tak ada lagi
yang kututupi,” katamu sambil membelaiku.
Aku hampa. Hambar….”Kalau kau mau pergi dari
hidupku, inilah saatnya, Bang…aku rela…,” kataku pedih. “Aku juga tak mau
menerimamu lagi kalau kau pernah melakukan itu dengannya….”
Kau terus mendekapku. “Tidak. Kami tak pernah
melakukan itu. Ya Allah, aku tak ingin kehilanganmu,” ujarmu berulangkali....
“Aku tak bisa terus menerus memaafkanmu…,”
lirihku sambil mengusap mataku yang memerah dan semakin membengkak..
“Ini yang terakhir, yang terakhir…,”katamu
sambil mendekapku lebih erat. “Aku tak akan pernah meninggalkanmu selamanya!
Tak akan..."
Empat tahun. Aku ingat empat tahun terakhir
inilah aku kehilanganmu, suamiku. Kau yang dikenal sangat alim, kerap sholat
subuh kesiangan. Kau juga mudah tersinggung, mudah marah, malas ngobrol dan
seolah tak memperhatikanku. Kau memang lebih memperhatikan penampilan, tapi tak
pernah meminta saranku. Kau lebih suka main game sampai lewat tengah malam,
daripada berbicara denganku. Hubungan kita benar-benar hambar dan formal. Kau
selalu sibuk dengan kerja, kerja dan kerja. Empat tahun ini tak pernah
kurasakan kehangatan, juga dalam hubungan suami istri yang sekadarnya itu...
Empat tahun ini kau seperti bukan dirimu!
Suara kentongan berbunyi dua kali. Kau masih
mendekapku erat. Saat itulah kau berkata, kau seperti disentakkan. Kau merasa
hubunganmu dengan Allah buruk sekali empat tahun terakhir. Kau juga sudah
jarang mengaji. " Karena itulah aku lebih mudah tergoda dan berbuat hina
seperti ini. Memalukan sekali. Maafkan aku...,aku akan memperbaiki hubunganku
dengan Allah, dengamu...maafkan aku sayang...,aku sadar. Aku akan menebus empat
tahun yang hilang itu. Ya Allah saksikanlah janjiku..."
Kita menangis bersama. Aku tahu sekali,
Bang...pada dasarnya kau lelaki yang sangat baik. Kau tahu? Itulah sebabnya
bertambah tahun, bertambah cintaku padamu...
Dan kau benar, hubungan yang rapuh denganNya
membuat kita mudah tergelincir. Aku pun berjanji pada diriku sendiri untuk
memperbaiki diri, memperbaiki hubunganku dengan Allah, memperbaiki peranku
sebagai istri, ibu sejati...dan semoga kita tak akan pernah saling menyakiti
dan kehilangan lagi satu sama lain....
Malam itu kita bercinta dengan sepenuh hati.
Ya, sepenuh hati, untuk pertama kali setelah empat tahun. Masih ada luka...,
namun sungguh tak tergambarkan keindahannya bagiku...
"Aku mencintaimu dan tak akan pernah mau
berpisah denganmu...,"bisikmu, "Maafkan aku, Cinta...."
Terimakasih untuk Helvy dan teman-teman
multiply yang banyak memberi perhatian, saran sepenuh cinta dan doa. memang
masih tersisa perih, tetapi kisah duka kami telah berakhir. Aku memutuskan
memaafkan Abang dan melupakan semua nestapa, untuk terakhir kalinya...
Semoga kalian juga bahagia...amiin...
udh ku baca ceritanya, ku rasakan apa yg perempuan itu rasakan.... geram bercampur kecewa kepada laki2 seperti itu.... apa semua laki2 seperti itu?? T_T
BalasHapusiya say,,hadew,,nggak bayangin saya, kalo saya jadi wanitanya sudah tak bunuh pelan-pelan pake jarum pentul,,hahahaha,,,
Hapussebenernya kalo si lelaki ini mau jujur dengan teman SD nya, istri pasti dapat mengerti. faktanya kan si lelaki sudah terlanjur baik dengan temennya itu sehingga orang jawa bilang- witing tresno jalaran soko kulino, rasa cinta bermula dari kebiasaan- sehingga dia bilang TTM (ngeri banget).
pelajaran ke-2, kalau pernikahan dipondasi dengan iman dan sama-sama memperkuat diri dekat dengan ALLAH TA'ALA insya Allah lebih terjaga. jika yang terjadi adalah sebaliknya, biduk rumah tangga akan menjadi rapuh.
pelajaran ke-3. saling memaafkan dan saling instropeksi diri atas semua tindakan dan kesalahan yang telah diperbuat. wew,,kalo saya istrinya itu bisa nggak ya memaafkan??
bergidik saya,,na'udzubillahi min dzalik,,
Wanita itu begitu sabar menyikapi masalahnya.. aku cuma baca komen n postingan mesra orng yg dekat dgn aku aja aku udh berlinangan air mata... sejahat itu kah aku sehingga orng yg kita sayang harus berpaling dr kita..
BalasHapusinsyaallah aku sangat bs memetik pelajaran dr cerita itu.... T_T
iya, subhanallah wanita itu sabar banget menghadapi cobaan itu :((
Hapus